Senin, 23 Januari 2012

SUARA KAMI DARI RANTAU

Nyanyian buat Lembata

LEMBATA DIAWANG - AWANG

Dari dulu sampai sekarang
Kota kita tercinta koq lamban berkembang
Dari hati bimbang makan waktu terbuang
Lembata masih diawang-awang

Banyak persoalan yang tidak terurus
Banyak kasus seperti sengaja dibungkus
Aparat hokum bermental bagai kardus
Jalan lurus sang tikus makin rakus

Pembangunan hanyalah dongeng bualan
Miliaran raib entah dimakan siluman
Pengangguran tak ada kesempatan
Terlindas segala tradisi sogokan

Kota Lembata kota pariwisata
Sampah berserakan dimana-mana
Jalan penuh lubang gunung diperkosa
Rumah wallet ditengah-tengah kota.

                                          By: Ichal

Sabtu, 21 Januari 2012

BETEKENENG Blogger: LEWOTANA LEMBATA

BETEKENENG Blogger: LEWOTANA LEMBATA: Tiada Darah di Lamalera , Oleh Martin Alaida , Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan b...

Jumat, 20 Januari 2012

LEWOTANA LEMBATA





Tiada Darah di Lamalera,

Oleh Martin Alaida,


Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama koteklema.

Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.


Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.

 

Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.


Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo…! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.

Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.

Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai…. Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.

Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.

”Baleo..!     Baleo…!” ......
Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!

Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.

Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam!


Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.


Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh… Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.

Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan.


”Jangan tikam é…!
Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunuh betina! Dia bagus seperti nya.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.

Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.


Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.


Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.

”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai.
Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati….”

Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh.

Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna….”

Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.

 
 tau_kah kita?
Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau lembata sudah menjadi kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Di hadapannya terbentang laut sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan penangkap ikan paus secara tradisional. Secara administratif desa Lamalera berada di wilayah Kecamatan Wulandoni, di perkampungan tersebut lamalera terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.000 jiwa.

Dulunya kampung Lamalera merupakan kampung terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian, saat ini sudah mulai ada pembangunan PLN dan pembuatan jalan aspal untuk memudahkan alat tranportasi. Kampung-kampung Lamalera pun dibangun di atas batu cadas dan karang tepat di kaki atau di lereng bukit atau gunung. Desa Lamalera dengan panorama alam pegunungan yang sedikit gersang serta deruhnya ombak pantai selatan, topografinnya yang bergunung-gunung dan bebatuan dan disertai dengan kemiringan yang cukup terjal yang menantang hidup dan kehidupan orang Lamalera.

INFO ARSITEKTUR LANSKAP 02


MAKALAH ANALISIS DAN PERENCANAAN TAPAK


.


OLEH:
RICHARDUS BETEKENENG
2005320014







 




JURUSAN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN DAN SUMBER DAYA
UNIVERSITAS TRIBHUANA TUNGGADEWI
MALANG
2009





 
Perletakan Tanaman
Untuk perletakan tanaman harus disesuaikan dengan tujuan perencanaan tanpa melupakan fungsi tanaman yang dipilih. Pada tahap ini harus dipertimbangkan “kesatuan dalam design” (unity), antara lain:
  1. Variasi/Variety.
  2. Penekanan/Accent.
  3. Keseimbangan/Balance.
  4. Kesederhanaan/Simplicity.
  5. Urutan/Sequences.
Vegetasi dapat disusun menjadi:
a.       Taman.
b.       Tempat berenang.
c.        Memberi tirai pemandangan.
d.        Menahan angina.
e.        Memberi bayangan.
Pemilihan jenis tanaman maupun cara pengaturan penanamannya harus mengikuti rencana penanaman yang disusun untuk memenuhi fungsi serta estetikanya. Apabila pola pengelompokan serta susunan jenis tanaman, ukuran, bentuk, tekstur, dan warnanya masing-masing telah diketahui dengan baik maka perencana dapat menyusun sendiri tata tanamnya berdasarkan satu atau beberapa sifat tanaman- tanaman tersebut.

Fungsi Vegetasi:
  1. Vegetasi untuk complimentory architecture.
    Kumpulan pepohonan ini dapat memberikan sesuatu yang lebih indah dan lebih memberi arti yang lebih monumental bagi bangunan yang ada.
  2. Vegetasi untuk soften line.
    Kehadiran banyak jenis pohon dengan ukuran yang tidak sama akan memberikan kesan yang lebih lunak dan nyaman. Pola perumahan yang lurus akan terkesan lembut apabila di sekitarnya tedapat pohon.
  3. Vegetasi untuk unity
    Suatu kawasan pemukiman atau perumahan yang mempunyai pola terpencar-pencar dan menempati suatu areal yang luas akan terasa lebih menyatu apabila ditanami pohon. Beberapa pohon yang tingginya tidak sama akan dapat memberikan kesan sebagai pemersatu antar bangunan.
  4. Vegetasi untuk creating shadow
    Kadang-kadang suatu kawasan yang sangat luas memiliki jalan masuk yang panjang. Jalan masuk ini akan terkesan teduh apabila ditanami pohon-pohon yang bertajuk rapat.
  5. Vegetasi dapat berfungsi sebagai penyerap karbondioksida dan mengubahnya menjadi O2.
  6. Vegetasi berfungsi sebagai pelindung bagi tanah sehingga mencegah terjadinya kerusakan tanah.

VEGETASI SEBAGAI ESTETIS
Nilai estetika dari taman diperoleh dari perpaduan antar warna (daun,batang dan bunga) bentuk fisik tanaman (batang,percabangan dan tajuk), tekstur tanaman, skala tanaman dan komen posisi tanaman. Nilai estetika tanaman dapat diperoleh dari satu tanaman, sekelompok tanaman yang sejenis., kombinasi berbagai jenis tanaman ataupun kombinasi antara tanaman dengan landsekap lainnya. 

Fungsi Estetika:
Memberikan nilai estetika dan meningkatkan kualitas lingkungan. Nilai estetika dari tanaman diperoleh dari perpaduan antara warna (daun,batang dan bunga), bentuk fisik tanaman (batang,percabangan dan tajuk), tekstur tanaman, skala tanaman dan komposisi tanaman. Nilai estetis dari tanaman dapat diperoleh dari satu tanaman, sekelompok tanaman yang sejenis, kombinasi tanaman berbagai jenis ataupun kombinasi antara tanaman dengan element landsekap lainnya. Dalam konteks lingkungan, kesan estetis itu menyebabkan nilai kualitasnya akan bertambah.
  1. Warna
Warna dari suatu tanaman dapat menimbulkan efek visual tergantung pada refleksi cahaya yang jatuh pada tanaman tersebut. Efek psikologis yang ditimbulkan dari warna  seperti telah diuraikan sebelumnya, yaitu warna cerah memberikan rasa senang, gembira serta hangat. Sedangkan warna lembut memberikan kesan tenang dan sejuk. Dan bila beberapa jenis tanaman dengan berbagai warna dipadukan dan dikomposisikan akan manimbulkan nilai estetis.
  1. Bentuk
Bentuk tanaman dapat digunakan untuk menunjukan bentuk 2 atau 3 dimensi, memberikan kesan dinamis, indah, sebagai aksen, kesan lebar dan luas dan sebagainya.
  1. Tekstur
Tekstur suatu tanaman ditentukan oleh: cabang, batang, ranting, daun dan jarak pandang terhadap tanaman tersebut.
  1. Skala
    Skala/proposi tanaman adalah perbandingan tanaman dengan tanaman lain atau perbandingan tanaman lain atau perbandingan tanaman dengan lingkungan sekitarnya.
Tanaman dapat menimbulkan pola bayangan pada dinding, lantai, dan sebagainya, yang akan berubah-ubah bentuknya yang dipengaruhi oleh angin dan waktu, hal ini akan menciptakan suatu pemandangan yang sangat menarik
Pepohonan di perkotaan lama-kelamaan makin jadi barang langka. Nasibnya pun semakin tak jelas. Keberadaannya seringkali terkalahkan oleh reklame, lampu penerangan jalan, jalan, trotoar. Kota jadi panas. Orang teriak butuh pohon. Namun, ketika banyak pohon bertumbangan dan jatuh korban, orang-orang jadi paranoid sama pohon. Rame-rame pohon besar ditebangi. Habis itu, panas… orang-orang pun teriak lagi.. begitu seterusnya.
Dalam kaitannya dengan keberadaan pepohonan di perkotaan, Nirwono Joga menandaskan bahwa warga kota berhak atas keamanan dan keselamatan publik, juga hak atas kesehatan lingkungan, serta perlindungan dari bencana lingkungan. Pohon-pohon yang bertumbangan akhir-akhir ini banyak yang tak sesuai peruntukannya, tak sesuai pula standard keamanannya. Jelas bahwa pohon pun memerlukan perawatan, pemeliharaan, dan bahkan asuransi.
Dinas-dinas pemerintah kota terkait sudah seharusnya memiliki standard kerja dan kompetensi dalam pemeliharaan pohon. Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan pohon. Pendataan dan pemetaan secara rinci, akurat, dan terkini kondisi pohon-pohon di seantero kota yang terakses secara online sudah saatnya diadakan. Jalur komunikasi dua arah bisa tercipta, sehingga laporan terkini kondisi pohon dan tindaklanjut penanganannya bisa secara cepat terlaksana.
Di tempat sekitar kita tinggal atau berdomisili pun, pepohonan yang ada bisa kita petakan. Dalam kawasan yang tak terlalu luas, tanpa harus melulu mengandalkan dinas pemkot yang tentu saja memiliki keterbatasan sumberdaya, komunitas setempat bisa juga melakukan pemetaan pohon-pohon di lingkungan mereka. Jika berkelanjutan, maka hal tersebut akan dengan sendirinya menjadi sebuah sistem pemantauan keamanan dan keselamatan pohon secara swadaya. Bahkan, dengan sistem tersebut, komunitas bisa membantu memberikan informasi kepada dinas terkait.
Sistem ikon Green Map telah menyediakan beberapa ikon yang merepresentasikan keberadaan taman, hutan kota, dan pohon istimewa. Kita bisa memperluas definisinya jika memang diperlukan. Bisa juga kita munculkan ikon baru yang berhubungan dengan pohon. Jadi, jika muncul peta hijau tematik pohon, kita bisa tahu mana pohon istimewa, pohon sehat, pohon sakit, dan seterusnya.
Lalu, apa yang bisa kita dapatkan setelah itu semua? Yah, paling tidak kita bisa tahu pohon apa saja yang ada di sekitar kita dan bagaimana kondisinya. Siapa tahu juga kita bisa dapat pengetahuan tambahan mengenai manfaat pohon atau tanaman tertentu. Komunitas setempat bisa memantau kelangsungan hidup si pohon. Jadi, cerita sebuah pohon yang pagi hari masih berdiri tegar dan rindang… tapi, sorenya sudah hilang dan digantikan dengan sebuah warung atau selokan atau pot bunga raksasa… tidak akan banyak muncul lagi. Semoga..
Sekedar ide kecil untuk memperjuangkan kelangsungan hidup umat manusia dan umat pepohonan, tanpa harus mengorbankan salah satunya.


Kamis, 19 Januari 2012

INFO ARSITEKTUR LANSKAP 01


 5 Tips Membuat Taman Di Rumah




Membuat taman merupakan salah satu usaha kita untuk menghadirkan keindahan bagi lingkungan rumah kita. Perencanaan desain taman baik di depan, samping, dan belakang rumah, ternyata bisa kita lakukan sendiri. Tentu pertanyaannya sekarang, bagaimana membuat taman itu? Saya jelaskan beberapa poin yang penting dalam membuat taman.

Tema Taman
Pilihlah tema taman yang sesuai dengan keinginan Anda. Misalnya Anda bisa memilih tema taman gaya Bali, taman gaya tropis, taman gaya minimalis, atau gaya modern. Namun Anda juga harus mempertimbangkan situasi dan kondisi lahan yang Anda punya.

Pemilihan tanaman
Pemilihan vegetasi merupakan poin yang harus diperhatikan. Buatlah beberapa list jenis tanaman yang Anda suka. Belilah sesuai dengan kebutuhan bagi lahan Anda dan tentunya tanaman yang sehat juga menjadi poin yang sangat penting. Saya memiliki rumus untuk menghitung jumlah tanaman (berdasarkan jarak tanam vegetasi) yang ada sebagai berikut:

Jarak Tanam (cm)
Jumlah Tanaman (nos/m2)
10
100
15
44.444
20
25
25
16
30
11.111
40
6.25
50
4
60
2.7
75
1.7
100
1
*nos = satuan tanaman (English)

Jadi seperti ini perhitungannya: jika Anda memiliki 2 meter persegi lahan, dan mempunyai tanaman yang mempunyai jarak tanam 30 cm, maka jumlah tanaman yang Anda butuhkan adalah 22.222 (dibulatkan menjadi 22)

Tata Letak
Tata letak tanaman mempengaruhi keindahan dalam merancang taman. Selalu perhatikan komposisi vegetasi seperti rumput (grass), tanaman penutup (groundcover), perdu (shrubs and feature plant), tanaman air (waterplant) dan pohon (tree). Strata vegetasi yang harus diperhatikan seperti ini: Pohon diletakkan sebagai background (area paling belakang), Perdu dan semak diletakkan sebagai midground (area tengah), dan terakhir tanaman penutup atau groundcovers dan rumput diletakkan sebagai foreground (area depan)

Pengolahan Media Tanam
Pengolahan media tanam yang baik dengan pencampuran tanah humus dan pupuk (organik atau non organik) sangat berperan bagi kelangsungan hidup tanaman kita. Penyiraman yang baik juga harus diperhatikan terutama pada pagi dan sore hari. Untuk penyirama jika Anda memiliki dana lebih, Anda bisa beli sprinkler (penyiram air otomatis) yang dapat disetting sesuai keinginan kita.

Drainase
Pada musim hujan bagian ini yang penting diperhatikan. Tanpa drainase kebun atau taman kita bisa banjir . Kenapa? Karena pada dasarnya drainase untuk mengatur aliran air yang sudah tidak terpakai dialihkan ke pembuangan riol (istilahnya got). Tapi ada juga alternatif pembuatan drainase ini dengan pembuatan lubang biopori.


So… bagaimana dengan Anda? Ingin membuat taman sendiri dengan tips ini?